Sore itu aku dan ibuku baru saja membuka dagangan di pasar kakilima Sungai Guntung. Matahari saat itu dengan gagah menyengat bumi. Setelah selesai berkemas dagangan yang akan kami jual, aku dan ibuku duduk bersandar dikursi sembari menunggu pembeli berdatangan. Selang beberapa menit, bola besar kemerahan yang berada diufuk barat perlahan-lahan tumbang, membuat suasana lebih damai dan tenang.
Di saat kami duduk di kursi berwarna hijau menunggu pembeli, kami melihat para penunggang roda dua lalu lalang. Di antara salah satu penunggang roda dua itu mampir di depan dagangan kami. Aku pun seketika berdiri dan masuk ke gerobok tempatku membuat kuliner yang kujual.
“Kebab spesialnya satu bang” kata pembeli tadi memesan.
“Pedas bang?” Tanyaku padanya.
Ia hanya mengangguk tandanya setuju.
Aku pun membuat pesanannya. Setelah pesanannya selesai kubuat dan kubungkus, aku pun memberikan pesanannya tadi, “ini bang,” kataku padanya sambil menyodorkan Kebab spesial pesananya tadi.
Dia pun mengambil pesanannya dan menyodori uang tujuh belas ribu rupiah padaku. Uang pecahan sepuluh ribu, lima ribu dan dua koin uang berbahan logam pecahan seribuan. Kuterima dengan ucapan syukur dan kemudian aku memandang wajah pembeli tadi, “Pantas” kataku dalam hati, “sepertinya bukan orang sini”. Pembeli itu pun membalikkan badan dan kembali pulang. Aku masih berdiri di dalam gerobokku sembari memegang dua koin pecahan seribuan tadi dan berkata dalam hati, “Kalau orang tadi asli orang sini, pasti ia sudah tak menggunakan uang ini” kataku tersenyum
Ya begitulah, di Sungai Guntung tempatku tinggal, uang berbahan koin sudah sulit ditemukan. Bahkan anggapan orang di tempatku uang logam tak bisa dijadikan alat sah jual beli. Yang sah hanya uang berbahan kertas saja. Mungkin hal ini kedengaran aneh bagi kalian yang berada di tempat-tempat lain yang masih menggunakan uang koin. Tapi di Sungai Guntung, hal itu sudah menjadi tradisi, bagi mereka uang berbahan koin tak layak untuk dijadikan alat sah jua beli, tak laku untuk dibelanjakan.
Mengenai hal itu pernah kualami sendiri dan akan aku ceritakan di sini. Waktu itu aku telah lupa tepatnya hari apa dan tanggal berapa, tapi aku masih ingat kejadiannya. Saat aku berbelanja di sebuah minimarket di Sungai Guntung, aku membayar dengan uang koin karena beberapa hari sebelumnya aku dapati banyak uang koin saat aku berkunjung ke kota Batam. Dan saat aku menggunakan uang itu untuk berbelanja dan ketika kusodorkan uang koin itu ke kasir minimarket tempatku berbelanja, petugas kasir itu serta merta berkata dengan seakan tanpa dosa, “maaf uang ini tak laku bang,” katanya memberitahu.
Aku yang mendengar Hal itu sontak berkata, “siapa bilang uang ini tak laku,” kataku menegaskan “uang logam ini kan resmi dikeluarkan langsung dari Bank Indonesia dan dijamin oleh negara sebagai alat tukar yang sah”
“Iya bang” katanya menjawab, “tapi memang dari dulu tak ada lagi pembeli yang menggunakan uang ini, kami pun tak pernah mengembalikan uang kembalian dengan uang koin”
Ya, aku tahu uang logam memang tak banyak digunakan di tempatku tinggal, tapi mengatakan uang ini tidak laku dan tak sah untuk dijadikan alat jual beli tentu adalah hal yang salah kan? Kalian pun pasti setuju. Jelas sekali bahwa uang koin dibuat pemerintah adalah untuk alat tukar dan resmi dikeluarkan oleh negara untuk memudahkan warganya dalam bertransaksi.
Mendengar alasan kasir tersebut, aku hanya mengangguk dan berkata karena tak ingin berdebat panjang, “oooo begitu, ya sudahlah” kataku sambil mengambil uang logamku tadi dan mengambil uang berbahan kertas disaku celana kananku dan membayar tagihanku. Saat itu juga aku katakan padanya, “uang ini bukan tak laku, dik” kataku, “uang ini sah bahkan dilindungi negara. Sangat salah bila ada yang mengatakan bahwa uang ini tak laku dan tak sah untuk alat tukar jual beli.” Setelah menyampaikan itu aku lihat wajah kasir itu merah padam dan aku pun pergi meninggalkan tempat karena tak ingin berlama-lama.
Nah, dua hal di atas adalah contoh pengalamanku tentang cinta rupiah. Mungkin begitulah cara sederhanaku mencintai rupiah. Meski di tempatku ada banyak yang mengatakan uang berbahan logam tak laku, aku tetap mengatakan dan menyakini uang itu laku. Dan, aku dengan rela hati menerima uang logam bila ada yang berbelanja di tempatku dengan uang logam meski di tempatku banyak yang bilang uang itu tak laku. Toh, uang itu masih bisa aku gunakan di tempat lain bila aku berkunjung ke kota-kota besar.
Kawan, kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia, tentu mencinta rupiah adalah bagian dari rasa nasionalisme kita. Sebab rupiah itu adalah salah satu identitas bangsa kita. Ya, identitas bangsa kita. Artinya rasa nasionalisme itu bisa kita tunjukkan dengan hal-hal yang kecil. Seperti mencintai rupiah, bangga dengan alat tukar jual beli kita, dan menjaga, mengakui, merawat dan menggunakan rupiah yang kita punya dengan baik.
Ternyata, untuk menunjukkan cinta rupiah itu banyak caranya. Paling tidak ada beberapa cara untuk mencintai rupiah. Nah, menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mencintai rupiah bisa dengan berbagai cara. Misalnya, tidak melipat uang yang kita miliki apalagi meremas-remasnya, tidak disteples, tidak dicoret-coret, tidak memegang uang ketika tangan masih basah. Itu cara sederhana yang pasti bisa kita lakukan. Bila ingin menunjukkan cinta rupiah. Maka mulailah dari diri sendiri, karena cara terbaik untuk mencintai rupiah adalah dimulai dari diri sendiri.
Yuk, mari kita mulai dari diri sendiri untuk mencintai rupiah. Seperti yang disampaikan LPS, Tidak melipat dan meremas-remas uang, tidak mensteples uang, tidak mencoret-coret uang, tidak memegang uang ketika tangan masih basah, dan kita bangga dengan mata uang kita.
Terakhir, untuk mengakhiri tulisan ini, aku ingin mengingatkan kembali atas ajakan presiden Jokowi pada 19 Desember 2016 lalu dalam acara peluncuran rupiah baru di Bank Indonesia, Jakarta. Beliau katakan, “Saya mengajak insan tanah air untuk terus mencintai rupiah dengan cara nyata. Selalu menggunakan rupiah dalam setiap transaksi keuangan dalam negeri dan menyimpan tabungan dalam bentuk rupiah,”
Yuk, mencintai rupiah dengan cara nyata. Kita mulai dari diri sendiri, setelah itu tebarkan virus cinta rupiah itu kepada orang-orang terdekat kita.
Mencintai rupiah, tanda kita mencintai bangsa.
Sumber Gambar : Foto koleksi Pribadi di IG